Kamis, 31 Maret 2011

Belajar dari "Si Skeptis"


Buku berjudul “Ranjang Prokrustes” karangan Nassim Nicholas Taleb ini mempesona.
Yang pertama-tama menarik dari buku ini adalah penulisnya, Nassim Taleb. Dia adalah penulis buku “Black Swan”. Dua setengah tahun lalu, saya beberapa kali menulis mengenai buku Nassim Taleb itu. Buku kali ini pun memiliki cover yang mirip dengan Black Swan, warna dasar putih dengan warna huruf merah serta hitam.

Nassim adalah orang yang sangat kritis dan menyebut dirinya sebagai orang yang skeptis. Tulisan-tulisannya dalam buku ini penuh sindiran tajam. Penuh “pembalikan logika awam”. Terasa sangat cerdas, namun juga sinis, dan kadang menyakitkan.

Prokustes (bahkan mengucapkannya pun terasa susah bagi saya) yang dipakai sebagai judul adalah tokoh dalam legenda Yunani. Dia dikenal dengan sikapnya yang suka menjamu tamu. Namun semua tamu dia bawa ke ranjangnya. Dan ranjang itulah yang mengerikan. Jika orang yang dibaringkan lebih panjang dari ranjang, dia akan memotong kaki tamunya agar pas. Bila tamunya terlalu pendek, dia akan merentangkan tubuh tamunya hingga pas. Prokustes secara harfiah berarti sang perentang.

Nassim Taleb yang skeptis itu menilai banyak hal terjadi di dunia seperti ranjang sang perentang. Banyak hal disesuaikan dengan cara yang justru berkebalikan dengan seharusnya. Ibarat tukang jahit yang mengklaim bahwa semua bajunya selalu pas dengan pemakai. Padahal yang dia lakukan bukan menyesuaikan baju jahitan terhadap tubuh melainkan menyesuaikan tubuh pemakai dengan baju karyanya. Begitulah Nassim Taleb menyindir kehidupan.

Sebenarnya buku ini bukanlah buku dalam arti sesungguhnya. Ini adalah kumpulan kalimat sindiran Taleb. Ada 383 kalimat yang disusun dalam buku ini. Kalimat begitu saja, seperti peribahasa atau kata bijak, tanpa penjelasan, dan saling terpisah-pisah.

Kalau di era jejaring sosial sekarang, ini semacam kumpulan status (Facebook, misalnya) yang dihimpun jadi buku. Atau semacam timeline Twitter (yang tanpa respons follower ataupun tanpa keterangan tambahan).

**
Ada kalimat yang sifatnya sederhana dan pribadi, ada yang menyangkut bisnis, ekonomi, ada soal social, filsafat, modernitas, dan sebagainya.

Beberapa di antaranya, seperti berikut:

“Anda lebih gampang mengingat e-mail yang Anda kirim tanpa dijawab orang daripada e-mail orang lain yang tidak Anda jawab.”

“Sebenarnya sikap yang dianggap banyak orang sebagai kerendahhatian adalah kesombongan yang tertutupi dengan sukses.”

“Benci itu cinta dengan salah ketik di dalam kode komputernya. Bisa dibetulkan tapi susah dicari di mana letak salahnya.”

“Benci lebih susah dipalsu daripada cinta. Cinta palsu sudah biasa terdengar, kalau benci palsu tidak pernah kedengaran.”

“Benci tak berbalas itu jauh lebih menyakitkan daripada cinta tak berbalas.”

“Jika seiring waktu amarah Anda berkurang sedikit demi sedikit, itu artinya Anda telah berbuat tidak adil; jika yang terjadi sebaliknya yaitu amarah Anda meningkat, artinya Anda menderita ketidakadilan.”

“Saat paling menyakitkan bukanlah yang kita habiskan bersama orang-orang yang tidak menarik, melainkan yang kita habiskan bersama orang-orang tak menarik yang berusaha menjadi menarik.”

****
“Dalam sains, Anda perlu memahami dunia. Dalam bisnis, Anda perlu orang lain yang salah dalam memahami dunia.”

“Penyakit zaman sekarang adalah keliru menyamakan yang tidak bisa diamati dengan hal yang memang tak ada. Namun wabah yang lebih parah adalah keliru menyamakan yang tidak diamati dengan yang tidak dapat diamati.”

“Untuk membuat bangkrut orang yang bodoh, beri saja dia informasi.”

“Dahulu orang mengenakan pakaian biasa pada hari biasa, dan pakaian resmi pada saat beribadah. Sekarang yang terjadi sebaliknya.”

“Buku adalah satu-satunya media yang belum dirusak oleh duniawi: apa pun yang bisa dilihat selainnya, memanipulasi Anda dnegan iklan.”

“Kita bertanya ‘mengapa dia kaya (atau miskin)’ bukan bertanya ‘mengapa dia tidak lebih kaya (atau lebih miskin); Kita bertanya ‘mengapa krisisnya parah’ bukan ‘mengapa krisisnya tidak lebih parah?’

“Lawan keberhasilan bukan kegagalan, melainkan kehilangan nama.”

“Sebagai orang berpandangan luas, Karl Marx menyadari bahwa budak bisa lebih mudah dikendalikan kalau dia meyakinkan bahwa dirinya adalah pegawai.”

“Perbedaan antara cinta dan kebahagiaan: mereka yang bicara cinta cenderung sedang jatuh cinta; mereka yang bicara kebahagiaan cenderung sedang tidak bahagia.”

“Modernitas menghadirkan narasi konyol bagi sejumlah kegiatan. Sekarang kita “berjalan untuk olahraga” bukan semata “berjalan” tanpa perlu adanya pembenaran sama sekali.”

“Daripada mencari penyebab kematian yang menewaskan orang lebih baik kita mencari penyebab kehidupan ketika orangnya masih ada.”

“Tiga kecanduan paling berbahaya adalah kecanduan heroin, kecanduan karbohidrat, serta kecanduan gaji bulanan.”

“Banyak orang sangat tidak orisinil sampai-sampai mereka belajar sejarah untuk mencari kesalahan yang bisa diulang.”

***
“Tandingan hukum Moore: tiap sepuluh tahun, kebijakan kolektif merosot sampai separuh.”

“Tragedi adalah ketika banyak hal yang Anda anggap acak sebenarnya berada dalam kendali Anda. Dan yang lebih parah, kebalikannya juga berlaku.”

“Kalau ingin membuat kesal seorang penyair, jelaskan pusinya.” [ini benar-benar versi lain ungkapan Iqbal dalam Stray Reflections]

“Kita sepakat menilai seseorang yang menyombongkan pencapaiannya sebagai orang berselera buruk. Tetapi ketika negara melakukannya, kita menyebutnya sebagai kebanggaan nasional.”

“Orang lemah bertindak untuk memenuhi kebutuhan, orang kuat bertindak untuk memenuhi kewajiban.” [ini juga mirip kalimat Iqbal soal orang kuat]

“Negara-bangsa suka perang, negara-kota suka perdagangan, keluarga suka kestabilan, dan individu suka hiburan.”

“Waktu datang ke hotel saya melihat ada tamu yang dibawakan barangnya oleh porter. Belakangan saya lihat tamu itu angkat beban di gym.”

“Masalah pengetahuan terletak pada lebih banyaknya buku tentang burung yang ditulis ahli burung daripada buku tentang burung yang ditulis burung dan buku tentang ahli burung yang ditulis burung.”

“Ahli matematika memulai dengan masalah dan membuat penyelesaian; konsultan memulai dengan menawarkan penyelesaian dan membuat masalah.”

“Kelompok kiri menganggap bahwa karena pasar itu bodoh maka model yang digunakan haruslah pintar. Kelompok kanan percaya bahwa model yang digunakan itu bodoh maka pasar haruslah pintar. Sayang, kedua kelompok ini tak pernah berpikir bahwa pasar dan model sama-sama sangat bodoh.”

***
Masih ada ratusan kalimat lain yang amat menarik dan menggugah. Tentu tidak semuanya menarik, tetapi sebagian besar menarik. Betapa sulit kita menemukan kalimat-kalimat pendek dari satu orang (bahkan kalimat Tolstoy sekali pun) yang hampir semuanya menarik. Barangkali itulah salah satu kekuatan Nassim “Si Spektis” Taleb.

Membaca buku ini mengingatkan saya akan buku Stray Reflections karya Iqbal (edisi Indonesia terbit pada awal dekade 1990an dengan judul Sisi Manusiawi Iqbal, Mizan). Nuansa kalimatnya, cara membahas filsafat, kekuatan, modernitas, ekonomi, benar-benar mirip gaya Iqbal. Kuat, sinis, membuat dahi mengkerut.

Buku Taleb setebal 156 halaman itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan dijual dengan harga Rp45.000.

Selasa, 14 Desember 2010

Terjemah Al-Quran dalam format MP3


Dalam perjalanan ke Bandung, saya menemukan penjual VCD Al-Quran dalam format MP3 di masjid pada tempat istirahat Km 57.

Salah satu produk yang paling menarik dan memang sudah lama saya cari adalah CD yang berisi bacaan Al-Quran disertai dengan bacaan terjemah dalam Bahasa Indonesia.

Bagi saya, ini sangat membantu dibandingkan bacaan murattal yang dilengkapi terjemah dalam bentuk teks. Terjemah dalam bentuk teks membuat kita harus melihat ke layar untuk mengerti isi ayat yang dibaca. Ini sulit diakses di kendaraan atau sambil mengerjakan hal lain yang tidak memelototi layar.

CD Al-Quran yang saya beli itu terdiri atas 4 keping dalam satu wadah. Harganya Rp75.000. Sayangnya tidak bisa dibeli terpisah. Harus satu set. Wadahnya bagus. Anak saya sampai mengira itu buku karena wadahnya memang seperti buku.

Terjemah dibaca untuk masing-masing ayat. Dibaca satu ayat lalu dibaca terjemahnya. Masing-masing surat berada dalam satu file. Jadi kalau kita tekan next akan berlanjut ke surat berikutnya.

Salah satu yang menarik adalah kita bisa copy masing-masing file itu ke dalam komputer atau flash disk. Jadi, kalau kita khawatir CD-nya rusak, kita masih punya back up di perangkat penyimpan yang lain. File copynya, tanpa maksud membajak, bisa diputar di MP3 player atau pemutar musik yang bisa ditenteng ke mana-mana dengan ringan.


Murattal itu dibaca oleh Musyarii Rasyid. Bacaannya enak, intonasi enak. Suara jelas. Tidak terlalu cepat. Juga tidak terlalu lambat sebagaimana qiroah.

Adapun terjemah dibaca oleh seorang wanita yang tidak disebutkan namanya (Bagiku ini tanda tanya. Mengapa mesti perempuan yang membacanya?) Intonasinya datar (nyaris tanpa intonasi). Sebagai pembanding, saya pernah punya kaset berisi bacaan Quran dengan terjemah dibaca pria. Satu kaset berisi beberapa surat pilihan. Bacaan terjemahnya tegas, dengan intonasi kuat. Namun logatnya terlalu Melayu. Nah, pada CD MP3 ini, bacaan terjemahnya menurut saya terlalu lembut.

Kualitas perekaman bacaan terjemah ini juga kurang bagus. Banyak noise dan dengung, tidak sejelas bacaan Qurannya.

Alhamdulillah. Untuk para commuter yang setiap hari menghabiskan lebih dari 3 jam di jalan, CD MP3 Al-Quran beserta terjemahannya ini bisa menjadi opsi menarik. Apalagi jiga isinya dipindahkan ke pemutar MP3 yang bobotnya hanya beberapa gram dengan memori 16 GB. (Setyardi Widodo, inspirana.blogspot.com, wikeliks.blogspot.com)

Senin, 13 Desember 2010

'Lebih baik menyadari keningratan'

Di Yogya, perdebatan mengenai apakah demokrasi bertentangan dengan aristokrasi; adakah monarki; serta bagaimana keningratan berperan, belakangan memanas.

Saya jadi teringat dengan sebuah buku dengan sampul merah dan kertas berat terbitan Ina Publikatama, Jakarta, Mei 2004. Buku setebal 360 halaman itu berjudul Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain.

***

Fareed Zakaria dalam Masa Depan Kebebasan mengungkapkan cerita sisi lain dari tragedi Titanic. Apa yang diungkapkan oleh Zakaria berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam versi film yang amat laris.

Dalam film, para penumpang kelas pertama berebutan naik sekoci yang jumlahnya sedikit. Hanya karena kekerasan hati para kelasi yang menggunakan senapan untuk menghalangi para elit ini maka para wanita dan anak-anak dapat diselamatkan.

Zakaria, berdasarkan cerita dari orang-orang yang selamat, menyatakan bahwa prosedur ‘para wanita dan anak-anak dahulu’ diikuti tanpa kecuali oleh kalangan kelas atas.

Data dari kecelakaan mendukung hal ini. Di kelas pertama, setiap anak berhasil diselamatkan. Dari 144 wanita hanya 5 yang gagal diselamatkan. Tiga dari 5 orang itu memang memilih tinggal bersama suaminya di kapal yang tenggelam. Sebaliknya, 70% para pria kelas pertama tewas.

Di kelas kedua yang juga diisi kalangan profesional kaya, 80% dari para wanitanya diselamatkan namun 90% prianya tewas tenggelam.

Para pria yang ada dalam kapal Titanic sebenarnya masuk dalam Forbes 400 pada waktu itu. Bahkan ada kisah sangat heroik tentang John Jacob Astor dan Benjamin Guggenheim yang berenang menyelamatkan istrinya dan memberikan tempat duduknya untuk orang lain.

Menurut Zakaria, pembuat film mengubah cerita karena berpendapat bahwa orang zaman sekarang tidak akan percaya kisah yang sebenarnya mengenai kisah orang-orang elit itu. Dalam wacana masa kini, mereka para orang super kaya itu hanyalah seperti kita semua, orang biasa.

***
Fareed Zakaria mengungkapkan cerita tentang tragedi Titanic untuk mendukung hipotesisnya mengenai perbedaan sikap antara orang yang sejak semula sudah lahir dari kalangan elit dengan orang kaya baru yang awalnya berasal dari kalangan kebanyakan.

Perdebatan antara demokrasi dan keningratan sudah sejak lama dibahas para filosof. Meski Aristoteles tidak percaya bila kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat awam, arus utama yang menang di dunia saat ini tentu saja demokrasi di mana semua orang memiliki hak yang sama.

Agaknya Zakaria mengamati kelemahan dari penyerahan kekuasaan sepenuhnya kekuasaan kepada rakyak kebanyakan. Itu tampak pada perkembangan sosial di AS beberapa dekade belakangan ini.

Dia mengamati para elit baru AS adalah sekumpulan keluaran universitas yang cerdas. Kalangan elit ini lebih heterogen, meritokratis, dan dinamis dibandingkan dengan yang sebelumnya.

Sayangnya, orang-orang di dalamnya bukanlah orang yang sejak awal telah sadar mengenai ststus elit mereka. Jika mereka dikatakan sebagai elit, mereka malah menyangkalnya.

Selama bertahun-tahun dia menjadi salah seorang terkaya sedunia, Bill Gates hanyalah memandang dirinya sebagai bagian dari kelas menengah ke atas biasa.

Dan sampai baru-baru ini, ketika kekuasaan mereka menjadi terlalu besar untuk diabaikan, negara memandang dia dan para taipan baru yang dia wakili sebagaimana mereka memandang diri mereka: sebagai orang iasa yang kebetulan memiliki uang.

Namun gambaran ini, menurut Zakaria, salah dan menyesatkan. Kelompok orang yang relatif kecil –barangkali 1 juta atau 0,5 persen dari populasi AS— menjalankan sebagian besar lembaga utama dan memiliki pengaruh dalam banyak hal.

Jika mereka atau negara tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah elit, maka mereka juga tidak akan menysuaikan diri dengan status mereka.

***
Sebagai kesimpulan dan penegasan, Fareed Zakaria mengingatkan soal kesadaran dari kalangan elit. Menurut dia, pada dasarnya orang kaya dan berkuasa akan selalu ada. Kita hanya bisa meminta agar mereka menyadari bahwa dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki ada tanggung jawab tertentu. (Setyardi Widodo)

*Foto diambil lewat googling, tidak jelas sumbernya.

Rabu, 08 Desember 2010

Ketika data benar-benar terbuka


Sejak awal kehadirannya, Internet dan jaringan komputer sudah diramal akan membawa manusia ke dunia yang kian terbuka. Kehadiran situs web dengan berita-berita real time merupakan awal dari era keterbukaan itu.

Selain sampah informasi makin banyak, keterbukaan juga kian nyata di dunia maya. Para pesohor di dunia hiburan mungkin termasuk kelompok yang paling sering menjadi ‘korban’ keterbukaan informasi.

Banyak privacy dan hal-hal pribadi rahasia para pesohor itu yang terungkap secara lugas di Internet sehingga bisa menjadi konsumsi umum. Sesuatu yang memalukan sering nongol di dunia maya sehingga mengganggu kehidupan nyata si pesohor.

Belakangan ini, keterbukaan dunia maya kembali menghentak. Kali ini bukan hanya pesohor dari dunia hiburan yang dibikin kelabakan. Para politisi penting dunia, para penguasa panggung politik dunia, serta pejabat teras di negara-negara besar pun dibuat pusing.

Keterbukaan yang belakangan dihadirkan oleh WikiLeaks memang menjadi guncangan tersendiri sekalipun kita sudah belasan tahun mengenal Internet yang sejak awal kehadirannya diprediksi akan membawa manusia ke dunia yang lebih terbuka.

Tak banyak yang menyangka bahwa dokumen-dokumen yang semua dianggap super rahasia ternyata bisa mudah saja ditampilkan ke publik. Hal-hal yang pada masa lalu baru bisa diakses oleh masyarakat setelah 30 tahun dari penerbitan dokumen itu, kini bisa diakses dalam rentang beberapa tahun saja.

Itulah salah satu hal penting yang dibawa oleh WikiLeaks.

Dan dalam mengadang Wikileaks, akhirnya, tindakan biasa dalam politik—semacam penangkapan, tuduhan ini itu—lah yang digunakan untuk menutup keterbukaan. (sumber inspirana.blogspot.com)

Foto dari AP, diambil lewat news.yahoo.com

Selasa, 07 Desember 2010

Kebranang ing Gegayusan


Dulu, waktu saya masih SD hingga awal kuliah, ada acara tv yang sangat digemari orang desa di seputar Yogya dan Jawa Tengah bagian selatan. Itulah acara kethoprak yang ditayangkan TVRI stasiun Yogyakarta setiap malam Minggu.

Ketika itu di desa saya belum banyak pesawat tv. Di sekitar tempat saya tinggal hanya Pak Lurah yang punya.

Maka di rumah Pak Lurah itulah setiap malam Minggu berkumpul puluhan warga dari orang dewasa hingga anak-anak lain untuk nonton kethoprak.

Di desa saya waktu itu belum ada listrik. Jadi, tv dihidupkan dengan aki (accu). Beberapa hari sekali harus diisi ulang ke desa lain yang sudah ada listrik PLN.

***
Pada masa akhir kejayaan kethoprak itu, TVRI Yogya pernah menanyangkan kethoprak sayembara. Saya lupa persisnya tahun berapa. Barangkali untuk mengantisipasi munculnya stasiun tv swasta yang siarannya lebih variatif.

TVRI menggandeng penulis cerita ternama untuk bergabung. Termasuk di antaranya SH Mintardja yang dikenal publik Yogya dan Jawa Tengah sebagai penulis cerita Nagasasra & Sabukinten, Api di Bukit Menoreh, dan Pelangi di Langit Singasari sebagainya. (bisa lihat tulisan-tulisan beliau di adbmcadangan.wordpress.com)

Dua karya SH Mintardja yang digelar untuk kethoprak sayembara itu, yang saya ingat, adalah “Ampak-ampak Kaligawe” serta “Kebranang ing Gegayuhan”. Seingat saya, TVRI dalam menggelar sayembara juga melibatkan majalah berbahasa Jawa “Djaka Lodhang”.

***
Cerita “Kebranang ing Gegayuhan” ini paling menarik. Secara harfiah, kebranang artinya terbakar atau tergoda. Gegayuhan artinya harapan, angan-angan, cita-cita. Pokoknya sesuatu yang ingin digayuh atau dicapai. “Kebranang ing Gegayuhan” kira-kira artinya yang paling pas dengan cerita adalah “terbakar oleh angan-angan”.

Ini cerita tentang seseorang atau sekelompok orang yang karena tergiur dengan jabatan yang tinggi lalu menempuh cara-cara nista. Dia menghalalkan segala cara termasuk mencelakakan orang lain, orang dekat, melakukan pembunuhan, dan sebagainya.

Dalam sayembara, pertanyaannya adalah tentang siapa yang menjadi dalang pembunuhan seorang pejabat di Kadipaten Kateguhan. Sebagai cerita sayembara, banyak kejutan yang ditampilkan.

Entah mengapa inilah satu-satunya cerita yang kethoprak sayembara yang nama tokoh-tokohnya masih saya catat. Saya lupa persisnya bagaimana bisa mencatat nama tokoh-tokoh dalam cerita itu di salah satu buku yang memang saya khususnya untuk mencatat kutipan buku, ceramah orang, serta bacaan-bacaan menarik.

Tokoh-tokoh yang masih tercatat antara lain Rantamsari, Senapati Sanggayuda, Rembono, Sasongko, Wignyono, Wismoyo, Madyasto, Wicitro. Lalu ada Tumenggung Reksadrana, Wiradapa, serta Demang Panjer.

Sebagai kejutan, ternyata dalang kekisruhan itu adalah Rantamsari, istri Adipati Kateguhan. (Nama si wanita mengandung makna yang terkait erat dengan kata gegayuhan). Sebenarnya, saya kira, yang lebih terbakar oleh angan-angan bukanlah Rantamsari melainkan orang-orang suruhannya yang mendapatkan banyak iming-iming untuk melakukan tindakan yang mencelakakan orang lain.

***
Lalu, kalau mengingat cerita berkembang di media massa belakangan ini, tentang orang-orang yang lupa daratan karena angan-angan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, saya kok jadi ingin mengubah cerita SH Mintardja itu menjadi “Kebranang ing Gegayusan.” (sumber: inspirana.blogspot.com)


PS: Gambar diambil dari cover salah satu cerita karya SH Mintardja, Panasnya Bunga Mekar.