Selasa, 14 Desember 2010
Terjemah Al-Quran dalam format MP3
Dalam perjalanan ke Bandung, saya menemukan penjual VCD Al-Quran dalam format MP3 di masjid pada tempat istirahat Km 57.
Salah satu produk yang paling menarik dan memang sudah lama saya cari adalah CD yang berisi bacaan Al-Quran disertai dengan bacaan terjemah dalam Bahasa Indonesia.
Bagi saya, ini sangat membantu dibandingkan bacaan murattal yang dilengkapi terjemah dalam bentuk teks. Terjemah dalam bentuk teks membuat kita harus melihat ke layar untuk mengerti isi ayat yang dibaca. Ini sulit diakses di kendaraan atau sambil mengerjakan hal lain yang tidak memelototi layar.
CD Al-Quran yang saya beli itu terdiri atas 4 keping dalam satu wadah. Harganya Rp75.000. Sayangnya tidak bisa dibeli terpisah. Harus satu set. Wadahnya bagus. Anak saya sampai mengira itu buku karena wadahnya memang seperti buku.
Terjemah dibaca untuk masing-masing ayat. Dibaca satu ayat lalu dibaca terjemahnya. Masing-masing surat berada dalam satu file. Jadi kalau kita tekan next akan berlanjut ke surat berikutnya.
Salah satu yang menarik adalah kita bisa copy masing-masing file itu ke dalam komputer atau flash disk. Jadi, kalau kita khawatir CD-nya rusak, kita masih punya back up di perangkat penyimpan yang lain. File copynya, tanpa maksud membajak, bisa diputar di MP3 player atau pemutar musik yang bisa ditenteng ke mana-mana dengan ringan.
Murattal itu dibaca oleh Musyarii Rasyid. Bacaannya enak, intonasi enak. Suara jelas. Tidak terlalu cepat. Juga tidak terlalu lambat sebagaimana qiroah.
Adapun terjemah dibaca oleh seorang wanita yang tidak disebutkan namanya (Bagiku ini tanda tanya. Mengapa mesti perempuan yang membacanya?) Intonasinya datar (nyaris tanpa intonasi). Sebagai pembanding, saya pernah punya kaset berisi bacaan Quran dengan terjemah dibaca pria. Satu kaset berisi beberapa surat pilihan. Bacaan terjemahnya tegas, dengan intonasi kuat. Namun logatnya terlalu Melayu. Nah, pada CD MP3 ini, bacaan terjemahnya menurut saya terlalu lembut.
Kualitas perekaman bacaan terjemah ini juga kurang bagus. Banyak noise dan dengung, tidak sejelas bacaan Qurannya.
Alhamdulillah. Untuk para commuter yang setiap hari menghabiskan lebih dari 3 jam di jalan, CD MP3 Al-Quran beserta terjemahannya ini bisa menjadi opsi menarik. Apalagi jiga isinya dipindahkan ke pemutar MP3 yang bobotnya hanya beberapa gram dengan memori 16 GB. (Setyardi Widodo, inspirana.blogspot.com, wikeliks.blogspot.com)
Senin, 13 Desember 2010
'Lebih baik menyadari keningratan'
Di Yogya, perdebatan mengenai apakah demokrasi bertentangan dengan aristokrasi; adakah monarki; serta bagaimana keningratan berperan, belakangan memanas.
Saya jadi teringat dengan sebuah buku dengan sampul merah dan kertas berat terbitan Ina Publikatama, Jakarta, Mei 2004. Buku setebal 360 halaman itu berjudul Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain.
***
Fareed Zakaria dalam Masa Depan Kebebasan mengungkapkan cerita sisi lain dari tragedi Titanic. Apa yang diungkapkan oleh Zakaria berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam versi film yang amat laris.
Dalam film, para penumpang kelas pertama berebutan naik sekoci yang jumlahnya sedikit. Hanya karena kekerasan hati para kelasi yang menggunakan senapan untuk menghalangi para elit ini maka para wanita dan anak-anak dapat diselamatkan.
Zakaria, berdasarkan cerita dari orang-orang yang selamat, menyatakan bahwa prosedur ‘para wanita dan anak-anak dahulu’ diikuti tanpa kecuali oleh kalangan kelas atas.
Data dari kecelakaan mendukung hal ini. Di kelas pertama, setiap anak berhasil diselamatkan. Dari 144 wanita hanya 5 yang gagal diselamatkan. Tiga dari 5 orang itu memang memilih tinggal bersama suaminya di kapal yang tenggelam. Sebaliknya, 70% para pria kelas pertama tewas.
Di kelas kedua yang juga diisi kalangan profesional kaya, 80% dari para wanitanya diselamatkan namun 90% prianya tewas tenggelam.
Para pria yang ada dalam kapal Titanic sebenarnya masuk dalam Forbes 400 pada waktu itu. Bahkan ada kisah sangat heroik tentang John Jacob Astor dan Benjamin Guggenheim yang berenang menyelamatkan istrinya dan memberikan tempat duduknya untuk orang lain.
Menurut Zakaria, pembuat film mengubah cerita karena berpendapat bahwa orang zaman sekarang tidak akan percaya kisah yang sebenarnya mengenai kisah orang-orang elit itu. Dalam wacana masa kini, mereka para orang super kaya itu hanyalah seperti kita semua, orang biasa.
***
Fareed Zakaria mengungkapkan cerita tentang tragedi Titanic untuk mendukung hipotesisnya mengenai perbedaan sikap antara orang yang sejak semula sudah lahir dari kalangan elit dengan orang kaya baru yang awalnya berasal dari kalangan kebanyakan.
Perdebatan antara demokrasi dan keningratan sudah sejak lama dibahas para filosof. Meski Aristoteles tidak percaya bila kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat awam, arus utama yang menang di dunia saat ini tentu saja demokrasi di mana semua orang memiliki hak yang sama.
Agaknya Zakaria mengamati kelemahan dari penyerahan kekuasaan sepenuhnya kekuasaan kepada rakyak kebanyakan. Itu tampak pada perkembangan sosial di AS beberapa dekade belakangan ini.
Dia mengamati para elit baru AS adalah sekumpulan keluaran universitas yang cerdas. Kalangan elit ini lebih heterogen, meritokratis, dan dinamis dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Sayangnya, orang-orang di dalamnya bukanlah orang yang sejak awal telah sadar mengenai ststus elit mereka. Jika mereka dikatakan sebagai elit, mereka malah menyangkalnya.
Selama bertahun-tahun dia menjadi salah seorang terkaya sedunia, Bill Gates hanyalah memandang dirinya sebagai bagian dari kelas menengah ke atas biasa.
Dan sampai baru-baru ini, ketika kekuasaan mereka menjadi terlalu besar untuk diabaikan, negara memandang dia dan para taipan baru yang dia wakili sebagaimana mereka memandang diri mereka: sebagai orang iasa yang kebetulan memiliki uang.
Namun gambaran ini, menurut Zakaria, salah dan menyesatkan. Kelompok orang yang relatif kecil –barangkali 1 juta atau 0,5 persen dari populasi AS— menjalankan sebagian besar lembaga utama dan memiliki pengaruh dalam banyak hal.
Jika mereka atau negara tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah elit, maka mereka juga tidak akan menysuaikan diri dengan status mereka.
***
Sebagai kesimpulan dan penegasan, Fareed Zakaria mengingatkan soal kesadaran dari kalangan elit. Menurut dia, pada dasarnya orang kaya dan berkuasa akan selalu ada. Kita hanya bisa meminta agar mereka menyadari bahwa dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki ada tanggung jawab tertentu. (Setyardi Widodo)
*Foto diambil lewat googling, tidak jelas sumbernya.
Saya jadi teringat dengan sebuah buku dengan sampul merah dan kertas berat terbitan Ina Publikatama, Jakarta, Mei 2004. Buku setebal 360 halaman itu berjudul Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain.
***
Fareed Zakaria dalam Masa Depan Kebebasan mengungkapkan cerita sisi lain dari tragedi Titanic. Apa yang diungkapkan oleh Zakaria berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam versi film yang amat laris.
Dalam film, para penumpang kelas pertama berebutan naik sekoci yang jumlahnya sedikit. Hanya karena kekerasan hati para kelasi yang menggunakan senapan untuk menghalangi para elit ini maka para wanita dan anak-anak dapat diselamatkan.
Zakaria, berdasarkan cerita dari orang-orang yang selamat, menyatakan bahwa prosedur ‘para wanita dan anak-anak dahulu’ diikuti tanpa kecuali oleh kalangan kelas atas.
Data dari kecelakaan mendukung hal ini. Di kelas pertama, setiap anak berhasil diselamatkan. Dari 144 wanita hanya 5 yang gagal diselamatkan. Tiga dari 5 orang itu memang memilih tinggal bersama suaminya di kapal yang tenggelam. Sebaliknya, 70% para pria kelas pertama tewas.
Di kelas kedua yang juga diisi kalangan profesional kaya, 80% dari para wanitanya diselamatkan namun 90% prianya tewas tenggelam.
Para pria yang ada dalam kapal Titanic sebenarnya masuk dalam Forbes 400 pada waktu itu. Bahkan ada kisah sangat heroik tentang John Jacob Astor dan Benjamin Guggenheim yang berenang menyelamatkan istrinya dan memberikan tempat duduknya untuk orang lain.
Menurut Zakaria, pembuat film mengubah cerita karena berpendapat bahwa orang zaman sekarang tidak akan percaya kisah yang sebenarnya mengenai kisah orang-orang elit itu. Dalam wacana masa kini, mereka para orang super kaya itu hanyalah seperti kita semua, orang biasa.
***
Fareed Zakaria mengungkapkan cerita tentang tragedi Titanic untuk mendukung hipotesisnya mengenai perbedaan sikap antara orang yang sejak semula sudah lahir dari kalangan elit dengan orang kaya baru yang awalnya berasal dari kalangan kebanyakan.
Perdebatan antara demokrasi dan keningratan sudah sejak lama dibahas para filosof. Meski Aristoteles tidak percaya bila kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat awam, arus utama yang menang di dunia saat ini tentu saja demokrasi di mana semua orang memiliki hak yang sama.
Agaknya Zakaria mengamati kelemahan dari penyerahan kekuasaan sepenuhnya kekuasaan kepada rakyak kebanyakan. Itu tampak pada perkembangan sosial di AS beberapa dekade belakangan ini.
Dia mengamati para elit baru AS adalah sekumpulan keluaran universitas yang cerdas. Kalangan elit ini lebih heterogen, meritokratis, dan dinamis dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Sayangnya, orang-orang di dalamnya bukanlah orang yang sejak awal telah sadar mengenai ststus elit mereka. Jika mereka dikatakan sebagai elit, mereka malah menyangkalnya.
Selama bertahun-tahun dia menjadi salah seorang terkaya sedunia, Bill Gates hanyalah memandang dirinya sebagai bagian dari kelas menengah ke atas biasa.
Dan sampai baru-baru ini, ketika kekuasaan mereka menjadi terlalu besar untuk diabaikan, negara memandang dia dan para taipan baru yang dia wakili sebagaimana mereka memandang diri mereka: sebagai orang iasa yang kebetulan memiliki uang.
Namun gambaran ini, menurut Zakaria, salah dan menyesatkan. Kelompok orang yang relatif kecil –barangkali 1 juta atau 0,5 persen dari populasi AS— menjalankan sebagian besar lembaga utama dan memiliki pengaruh dalam banyak hal.
Jika mereka atau negara tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah elit, maka mereka juga tidak akan menysuaikan diri dengan status mereka.
***
Sebagai kesimpulan dan penegasan, Fareed Zakaria mengingatkan soal kesadaran dari kalangan elit. Menurut dia, pada dasarnya orang kaya dan berkuasa akan selalu ada. Kita hanya bisa meminta agar mereka menyadari bahwa dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki ada tanggung jawab tertentu. (Setyardi Widodo)
*Foto diambil lewat googling, tidak jelas sumbernya.
Rabu, 08 Desember 2010
Ketika data benar-benar terbuka
Sejak awal kehadirannya, Internet dan jaringan komputer sudah diramal akan membawa manusia ke dunia yang kian terbuka. Kehadiran situs web dengan berita-berita real time merupakan awal dari era keterbukaan itu.
Selain sampah informasi makin banyak, keterbukaan juga kian nyata di dunia maya. Para pesohor di dunia hiburan mungkin termasuk kelompok yang paling sering menjadi ‘korban’ keterbukaan informasi.
Banyak privacy dan hal-hal pribadi rahasia para pesohor itu yang terungkap secara lugas di Internet sehingga bisa menjadi konsumsi umum. Sesuatu yang memalukan sering nongol di dunia maya sehingga mengganggu kehidupan nyata si pesohor.
Belakangan ini, keterbukaan dunia maya kembali menghentak. Kali ini bukan hanya pesohor dari dunia hiburan yang dibikin kelabakan. Para politisi penting dunia, para penguasa panggung politik dunia, serta pejabat teras di negara-negara besar pun dibuat pusing.
Keterbukaan yang belakangan dihadirkan oleh WikiLeaks memang menjadi guncangan tersendiri sekalipun kita sudah belasan tahun mengenal Internet yang sejak awal kehadirannya diprediksi akan membawa manusia ke dunia yang lebih terbuka.
Tak banyak yang menyangka bahwa dokumen-dokumen yang semua dianggap super rahasia ternyata bisa mudah saja ditampilkan ke publik. Hal-hal yang pada masa lalu baru bisa diakses oleh masyarakat setelah 30 tahun dari penerbitan dokumen itu, kini bisa diakses dalam rentang beberapa tahun saja.
Itulah salah satu hal penting yang dibawa oleh WikiLeaks.
Dan dalam mengadang Wikileaks, akhirnya, tindakan biasa dalam politik—semacam penangkapan, tuduhan ini itu—lah yang digunakan untuk menutup keterbukaan. (sumber inspirana.blogspot.com)
Foto dari AP, diambil lewat news.yahoo.com
Selasa, 07 Desember 2010
Kebranang ing Gegayusan
Dulu, waktu saya masih SD hingga awal kuliah, ada acara tv yang sangat digemari orang desa di seputar Yogya dan Jawa Tengah bagian selatan. Itulah acara kethoprak yang ditayangkan TVRI stasiun Yogyakarta setiap malam Minggu.
Ketika itu di desa saya belum banyak pesawat tv. Di sekitar tempat saya tinggal hanya Pak Lurah yang punya.
Maka di rumah Pak Lurah itulah setiap malam Minggu berkumpul puluhan warga dari orang dewasa hingga anak-anak lain untuk nonton kethoprak.
Di desa saya waktu itu belum ada listrik. Jadi, tv dihidupkan dengan aki (accu). Beberapa hari sekali harus diisi ulang ke desa lain yang sudah ada listrik PLN.
***
Pada masa akhir kejayaan kethoprak itu, TVRI Yogya pernah menanyangkan kethoprak sayembara. Saya lupa persisnya tahun berapa. Barangkali untuk mengantisipasi munculnya stasiun tv swasta yang siarannya lebih variatif.
TVRI menggandeng penulis cerita ternama untuk bergabung. Termasuk di antaranya SH Mintardja yang dikenal publik Yogya dan Jawa Tengah sebagai penulis cerita Nagasasra & Sabukinten, Api di Bukit Menoreh, dan Pelangi di Langit Singasari sebagainya. (bisa lihat tulisan-tulisan beliau di adbmcadangan.wordpress.com)
Dua karya SH Mintardja yang digelar untuk kethoprak sayembara itu, yang saya ingat, adalah “Ampak-ampak Kaligawe” serta “Kebranang ing Gegayuhan”. Seingat saya, TVRI dalam menggelar sayembara juga melibatkan majalah berbahasa Jawa “Djaka Lodhang”.
***
Cerita “Kebranang ing Gegayuhan” ini paling menarik. Secara harfiah, kebranang artinya terbakar atau tergoda. Gegayuhan artinya harapan, angan-angan, cita-cita. Pokoknya sesuatu yang ingin digayuh atau dicapai. “Kebranang ing Gegayuhan” kira-kira artinya yang paling pas dengan cerita adalah “terbakar oleh angan-angan”.
Ini cerita tentang seseorang atau sekelompok orang yang karena tergiur dengan jabatan yang tinggi lalu menempuh cara-cara nista. Dia menghalalkan segala cara termasuk mencelakakan orang lain, orang dekat, melakukan pembunuhan, dan sebagainya.
Dalam sayembara, pertanyaannya adalah tentang siapa yang menjadi dalang pembunuhan seorang pejabat di Kadipaten Kateguhan. Sebagai cerita sayembara, banyak kejutan yang ditampilkan.
Entah mengapa inilah satu-satunya cerita yang kethoprak sayembara yang nama tokoh-tokohnya masih saya catat. Saya lupa persisnya bagaimana bisa mencatat nama tokoh-tokoh dalam cerita itu di salah satu buku yang memang saya khususnya untuk mencatat kutipan buku, ceramah orang, serta bacaan-bacaan menarik.
Tokoh-tokoh yang masih tercatat antara lain Rantamsari, Senapati Sanggayuda, Rembono, Sasongko, Wignyono, Wismoyo, Madyasto, Wicitro. Lalu ada Tumenggung Reksadrana, Wiradapa, serta Demang Panjer.
Sebagai kejutan, ternyata dalang kekisruhan itu adalah Rantamsari, istri Adipati Kateguhan. (Nama si wanita mengandung makna yang terkait erat dengan kata gegayuhan). Sebenarnya, saya kira, yang lebih terbakar oleh angan-angan bukanlah Rantamsari melainkan orang-orang suruhannya yang mendapatkan banyak iming-iming untuk melakukan tindakan yang mencelakakan orang lain.
***
Lalu, kalau mengingat cerita berkembang di media massa belakangan ini, tentang orang-orang yang lupa daratan karena angan-angan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, saya kok jadi ingin mengubah cerita SH Mintardja itu menjadi “Kebranang ing Gegayusan.” (sumber: inspirana.blogspot.com)
PS: Gambar diambil dari cover salah satu cerita karya SH Mintardja, Panasnya Bunga Mekar.
Langganan:
Postingan (Atom)